PANCASILA Vs KHILAFAH : MELALUI MODERASI BERAGAMA

Pemandangan alam Kota Ende Sare menjadi indah dan berseri dihiasi oleh tiga gunung yakni gunung Meja, gunung Ia dan gunung Wongge seolah –olah menjadi pengawal dan penjaga kota Ende dari musuh-musuh. Dan memberi warna tersendiri dalam kegiatan festival parade kebangsaan tahun 2022 yang diselenggarakan pemerintah kabupaten Ende, dalam rangka menyemarakan hari ulang tahun lahirnya Pancasila ke- 77 yang dipusatkan di Ende pada tanggal I Juni 2022. Kegiatan akbar kebangsaan ini dihadiri Bapak Presiden Ir.Joko Widodo. Masyarakat Flores khususnya kabupaten Ende berlimpah ruah sepanjang jalan kota Ende yang akan dilalui bapak Jokowi. Kehadiran Bapak Jokowi memberikan makna sendiri kepada masyarakat Flores khususnya Ende bahwa Pancasila merupakan harga mati untuk bangsa dan Negara Indonesia, tidak ada ideologi lain selain pancasila. Bung karno sudah titipkan Pancasila kepada anak cucu negeri ini sebagai generasi bangsa harus tetap menjaga Pancasila dari rongrongan kelonpok kilafah.
Suasana hati dan pikiran kita seolah-olah diputar kembali untuk merenung dan mengenang peristiwa sejarah yang telah diukir oleh sang proklamator Ir Soekarno. Pohon sukun menjadi saksi bisu, Bung Karno menggali nilai-nilai luhur pancasila di tempat pembuangan di kota Ende. Disinilah nilai-nilai luhur pancasila ditemukan dan menjadi dasar pemersatu bangsa sampai saat ini.
PANCASILA
Ungkapan Bung Karno yang selalu di kenang bangsa ini dan generasi penerus yakni “jangan sesekali melupakan sejarah”( JASMERAH). Pesan ini sungguh menggugah hati untuk tetap mengingat kembali sejarah proses berdirinya negara republik Indonesia dan dasar negara Pancasila. Tentu kita sadari bahwa perjalanan sejarah lahirnya Pancasila melalui proses yang panjang, tidak serta merta mendadak lahir di tahun 1945. Proses sejarah konseptualisasi Pancasila melintasi rangkaian perjalanan yang panjang, setidaknya dimulai sejak awal 1900-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sintesis antar ideologi dan gerakan seiring dengan proses penemuan Indonesia sebagai kode kebanggaan bersama( civil nationalism) Proses ini ditandai dengan munculnya berbagai organisasi pergerakan kebangkitan (Boedi Uetomo, Muhammadiyah,NU Perhimpunan Indonesia dan lain-lainnya), Partai politik : ( Indisce Partaij,PNI,partai-partai sosialis,PSSI dan lain-lain) dan Sumpa pemuda.
Perumusan konseptualisasi Pancasila dimulai pada masa persidangan pertama oleh Badan Penyelidikan Usaha –usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 29 Mei -1 Juni 1945. Soekarno sebagai penginisiatif pembentukan panitia Sembilan yang terdiri dari Soekarno (ketua), Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, A.A. Maramis, Soebardjo (golongan kebangsaan), H.Agus Salim dan R, Abikusno Tjokrosoejoso (golongan Islam). Panitia ini telah melahirka konsep rancangan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Repunlik Indonesia Tahun 1945 dan di setujui pada tanggal 22 Juni 1945, Oleh Soekarno rancangan pembukaan Undang-Umdamg Dasar diberi nama Mukaddimah dan M Yamin dinamakan “Piagam Jakarta’ namun pada tanggal 18 Agustus 1945 kesepakatan yang terdapat dalam piagam Jakarta tersebut diubah pada bagian akhirnya oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hal ini tujuh kata setelah Ke-Tuhanan yang semula berbunyi ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Juga diubahnya klausul pada batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 Pasal 6 ayat (1) mengenai syarat presiden. Semula ayat ini mensyaratkan presiden harus orang Islam tetapi kemudian di ubah menjadi hanya ”harus orang Indonesi asli”
Dengan demikian konseptualisasi Pancasila sudah final ,tidak dapat dikutak-kutik lagi oleh siapapun, karena Pancasila merupakan karya bersama yang dihasilkan melalui konsensus bersama. Pancasila menjadi titik temu ( common denominator) yang menyatukan keindonesiaan kita. Dengan demikian jelas bahwa penetapan rumusan pancasila merupakan hasil final yang harus dijunjung tinggi oleh setiap warga Indonesia dalam mengembangkan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
KHILAFAH
Di saat Negara Republik Indonesia menyongsong merayakan hari lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 2022, ada segerombolan kaum khilafah melakukan konvoi bermotor di jalan raya di Jakarta Timur dan Jawa Barat. Ini bukti mereka berjuang untuk merubah dasar pancasila. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perjalanan negara kesatuan Republik Indonesia, khususnya dasar negara kita Pancasila, seringkali diganggu oleh kelompok-kelompok radikalisme dan khilafah yang ingin merubah dasar negara Indonesia dengan paham khilafah. Khilafah adalah sebuah gerakan keagamaan yang dipahami sebagai konsep tentang kenegaraan yang berdasarkan syariat islam. Konsep ini mengandaikan seluruh dunia islam disatukan kedalam satu sistem kekhalifaan atau pemerintah yang tunggal berdasarkan agama. Konteks kita di Indonesia memang agak sulit diterapkan paham khilafah, karena NKRI sebagai sebuah bangsa yang pluralis dan majemuk (Bhineka Tunggal Ika), sangatlah tepat Pancasila menjadi Dasar Negara Republik Indonesia. Kesepakatan bersama para pendahulu (panitia sembilan) sudah final. Ini terungkap dalam pidato Soekarno pada I Juni 1945 peringati hari lahirnya Pancasila,
“ Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri, yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam menurut petunjuk nabi Muhammad S.A.W, orang Budha, Hindu menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan,yakni dengan tiada “egoisme agama” dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan”
Para pendiri negara menyadari bahwa keberadaan masyarakat yang majemuk merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus diakui, diterima dan dihormati, yang kemudian diwujudkan dalam semboyan bhineka tunggal ika, memang harus diakui bahwa ketidakmampuan untuk mengelolah kemajemukan dan ketidaksiapan sebagian masyarakat untuk menerima kemajemukan tersebut serta pengaruh berkelanjutan politik kolonial devide et impera telah mengakibatkan terjadinya berbagai gejolak yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Situasi dan kondisi negara saat ini menjelang pilpres tahun 2024 mulai terasa, ada beberapa tokoh politik dan tokoh agama mulai menjual isu agama atau politik identitas demi kepentingan dirinya dan golongan. Isu agama sangat sensitive untuk “digoreng” masuk ke dalam politik identitas. Bahkan kelompok-kelompok tertentu secara terang-terangan mempropaganda lewat media sosial dan mimbar rumah ibadah untuk mendirikan negara khilafah. Gerakan kelompok khilafah ini sebenarnya berasal dari pengikut ormas-ormas yang secara organisasi sudah dilarang oleh pemerintah. Presiden Ir Joko Widodo sendiri dengan tegas mengatakan khilafah tidak boleh ada dan hidup di tanah air Indonesia. Pandangan masyarakat yang keliru tentang kehidupan beragama, dapat menciptakan kelompok-kelompok yang fanatik terhadap agamanya dan menganggap agama yang salah, sehingga tidak mengherankan banyak kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama di tanah air ini, untuk bertindak semena-mena terhadap agama lain atau terhadap pemerintah sekaligus berjuang untuk merubah pancasila dan menggantikan khilafah.
MODERASI BERAGAMA
Berdasarkan realita di lapangan ternyata berbagai kasus yang bernuansa sara dapat terjadi hanya karena memiliki pandangan yang sempit dan keliru tentang kehidupan beragama. Inilah sebagai faktor penyebabnya. Cara pandang dan cara berpikir tentang hidup beragama perlu diubah, harus lebih moderat melalui moderasi beragama.
Moderasi beragama sangat penting dalam konteks menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Setiap agama perlu memiliki pandangan yang moderat tentang beragama sesuai dengan doktrin agamanya yang pada hakekatnya membawa kehidupan yang aman, damai , dan harmonis bagi pemeluknya dan sesama umat beragama.
Kata “moderasi’ memiliki korelasi dengan beberapa istilah. Dalam bahasa Inggris, kata “moderasi” berasal dari kata moderation, yang berarti sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Juga terdapat kata moderator.yang berarti ketua (of meeting),pelerai,penengah (of dispute). Kata moderation berasal dari bahasa Latin : moderatio,yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata moderasi berarti penghindaran kekerasan atau penghindaran keekstreman. Kata ini adalah serapan dari kata “moderat’ yang berarti sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem dan kecenderungan kearah jalan tengah. sedangkan ‘moderator’berarti orang yang sebagai penengah.
Jadi ketika kata “moderasi” disandingkan dengan kata “beragama’ menjadi “moderasi beragama” maka istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama. Gabungan kedua kata ini juga menunjuk kepada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem (radikalaisme) dan selalu mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbanga Indonesia.
Sikap moderat dan moderasi adalah suatu sikap dewasa yang baik dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan beragana. Radikalisme, kekerasan dan kejahatan, termasuk ujaran kebencian,caci maki dan hoaks terutama mengatasnamakan agama adalah iman kekanak-kanakan (infantil),memecah belah,merusak tatanan kehidupan.
Moderasi beragama merupakan usaha kreatif untuk mengembangkan sikap keberagaman di tengah pelbagai desakan ketegangan (constrains) seperti antara klaim kebenaran absolute dan subjektivitas ,antara interpretasi literal dan penolakan yang arogan atas nama agama,juga antara radikalisme dan sekularisme .
Komitmen utama moderasi beragama terhadap toleransi menjadikannya sebagai cara terbaik untuk menghadapi radikalisme agama yang mengancam kehidupan beragama itu sendiri dan pada gilirannya mengimbas kehidupan persatuan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Memperhatikan sikap keberagamaan dalam dinamika berbangsa dan bernegara, presiden Republik Indonesia, Joko widodo pada berbagai kesempatan mengajak tokoh-tokoh agama untuk menjadikan agama sebagai sumber nilai-nilai yang merawat kebhinekaan. Tidak dapat disangkal bahwa agama menjadi roh utama bangsa ini sehingga para tokoh agama berperan penting untuk menjaga kemajemukan sebagai kekayaaan dan modal sosial bangsa Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia keragamaan diyakini sebagai kehendak Tuhan. Keragaman tidak diminta melainkan pemberian Tuhan yang mencipta, bukan untuk ditawar melainkan untuk di terima sebagai anugerah. Indonesia merupakan yang memiliki keanekaragaman etnis,suku, budaya, dan agama yang hampit tidak dimiliki negara lain di dunia ini.
Kenyataan keanekaragamaan masyarakat Indonesia dapat dibayangkan betapa beragamnya pandangan, pendapat, keyakinan dan kepentingan masing-masing agama. Masih bersyukur kita masih memiliki satu bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia, sehingga berbagai perbedaan itu dapat dikomunikasikan secara baik dan saling memahami antara satu dengan yang lain.
Dari sudut pandang agama ,keragaman adalah anugerah dan kehendak Tuhan,jika Tuhan menghendaki ,tentu tidak sulit membuat hamba-hamba-Nya menjadi seragam dan satu agama saja. Tapi Tuhan memang menghendaki agar umat manusia yang beranekaragam suku,etnis dan agama dengan tujuan agar kehidupan menjadi dinamis,saling belajar dan saling mengenal satu sama lain, bahkan berlomba-lomba untuk memuji-Nya. Olehnya kita perlu mensyukuri betapa indahnya kita hidup berdampingan dengan sesame tanpa ada melihat perbedaan.
Pengetahuan atas keragaman yang mendalam akan mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap sesama agama lain dan selalu akan mengambil sikap jalan tengah (moderat) jika satu pilihan kebenaran tafsir yang tersedia tidak memungkinkan dijalankan. Sikap ekstrem biasanya akan muncul jika seorang pemeluk agama tidak mengetahui adanya alternative kebenaran tafsiran lain yang bisa ia tempuh. Dalam konteks inilah moderasi beragama menjadi penting untuk dijadikan sebagai sebuah cara pandang (perspektif) dalam beragama. Kita yakin dengan sikap toleransi dan cara pandang yang moderat tentang agama akan mengikis sikap intoleransi, dan tokoh-tokoh agama yang moderat di Indonesia sudah memberi teladan bagi warga negara yang hidup dalam keanekaragaman bangsa seperti Abdurhaman Wahid, Buya Safii, Quraish Sihab, dan KH.Mustofa Bisri ***
Penulis : AGUSTINUS BADJO, S.Ag., M.Th ( Pengawas Pendidikan Agama Katolik Kabupaten Sikka)
Editor : Aida Ceha