Pengoplosan Fakta dan Pemerkosaan Kedua oleh Media

PRESIDEN Joko Widodo pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN), 9 Pebruari 2021 mengharapkan agar pers tetap berada di garis terdepan untuk mengabarkan setiap perkembangan situasi dan menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, menjaga optimisme serta harapan. Ada tiga hal penting dalam pernyataan singkat ini. Pertama kepeloporan pers dalam pekabaran, kedua menjadi jembatan komunikasi, ketiga membangun optimisme dan menumbuhkan harapan. Pekabaran dan jembatan komunikasi adalah fungsi imperatif yang tidak boleh diabaikan, menumbuhkan optimisme dan harapan adalah fungsi preferensial yang perlu dijalankan pers.
Tentunya emphasis dari harapan Presiden tersebut punya target penting, mengingat di era sekarang ini, pers (media konvensional/mainstream) tidak lagi menjadi satu-satunya penjaga gerbang informasi dan melakukan pekabaran. Di era internet ini, hampir setiap saat dan hampir setiap orang dapat memproduksi content informasi dan berita sendiri dalam media independen yang kita sebut media sosial. Ruang publik kita tidak lagi hanya diisi media konvensional tetapi juga dibanjiri informasi dari media sosial. Nyaris tidak ada aktivitas sosial yang luput dari kritisisme aktivis media sosial.
***
JIKA dalam media konvensional kita mengenal pembedaan yang jelas antara wartawan, redaktur, produksi dan publikasi, dengan media sosial setiap orang sekaligus menjadi wartawan, redaktur dan produser tanpa ada yang mengontrol. Liputan tidak lagi in actu di tempat kejadian peristiwa, tapi dari mesin pencarian goegle, whatsap, twitter dll. Publikasi berita tidak lagi diterbitkan/siarkan kepada khalayak, tetapi diposting dan dipamerkan (display) dalam jaringan. Medianya bukan lagi surat kabar, tv, radio, tapi komputer dan smartphone.
Etosnya bukan lagi kode etik, tetapi kecepatan. Bersamaan dengan itu ketelitian menjadi tidak penting, kebenaran berita ditunda, sampai jika ada komplein. Istilah gaulnya, hit and run. Jurnalisme yang lebih menekankan kecepatan pencapaian informasi dengan menomorduakan kelengkapan dan kelayakan jurnalistik. Sifat jurnalisme yang eksplosif-insinuatif ini juga mengabaikan etika saat berhadapan dengan obyek berita dan masyarakat.
Berita pers dengan demikian lebih sering dibilang gossip (bukan hoax). Dan seperti kebanyakan gossip, jurnalisme hit and run membuat pers lebih mirip sebagai medium berceloteh. Ia dibutuhkan bukan penting tetapi karena di sana ada big talk on small things, ada small talks on big things dan selebihnya adalah small talks on small things dengan foto menggiurkan tanpa terenskripsi end to end. Kutahu yang kumau.
Fenomena media sosial ini memang berkontribusi positif terhadap proses demokrasi dan deliberasi di Indonesia. Tetapi bersamaan dengan itu kita menemukan munculnya gejala gejala simtomatik, yakni penyimpangan dari standar dan norma jurnalisme yang terjadi secara ekstrim dan massif. Simtomatik media tidak hanya menjadi gejala umum media sosial tetapi juga merambah media arus utama dan online. Beberapa bahkan seperti kehilangan akal dan terang-terangan meninggalkan obyektifitas dan independensi.
Dua gejala paling umum yang sering ditemukan dari meluasnya penyimpangan standar umum jurnalisme adalah “pengoplosan fakta’ oleh opini wartawan dan “pemerkosaan kedua” (the second rape) terhadap korban perkosaan dalam pemberitaan.
***
TENTU perlu ruang yang lebih banyak untuk mengulas dan menunjukkan fakta yang dioplos opini wartawan dan the second rape dalam pemberitaan. Tetapi setiap wartawan, yang jujur dan professional pasti memahami ini. Seperti miras oplosan yang bikin kepala sakit bahkan mendatangkan kematian, berita oplosan juga membuat pembaca kepala sakit dan bisa bunuh diri. Lantas, bagaimana mengukur obyektifitas berita media?
Jorogen Westersthal dalam “Objektive News Reporting: General Premises” menyodorkan indikator non-evaluatif, yakni ada tidaknya pencampuran fakta dan opini wartawan, dan indikator non-sensasional, yakni kesesuaian judul dan isi, serta ada tidaknya dramatisasi. Pengoplosan fakta oleh opini wartawan, terjadi saat wartawan menuliskan berita dan menginterpretasikan fakta psikologis/pernyataan narasumber dalam berita.
Kita menemukan misalnya paragraf berita seperti ini. “Gubernur NTT menetapkan NTT sebagai zona merah Covid-19. Masyarakat semakin resah dan suasana seperti mencekam.” Kalimat pertama fakta. Kalimat kedua adalah opini wartawan tanpa diikuti fakta-fakta sosiologis sebagai landasan pengambilan kesimpulan. Lantas apakah wartawan tak boleh beropini. Wartawan boleh beriopini, hanya tidak dibenarkan beropini dalam menuliskan fakta. Jurnalis yang baik akan mengangkat fakta empirik sebagai berita dan bukannya fakta psikologis yang bertaruh pada opini pribadi. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan berita yang benar agar mampu mencapai obyektifitas dunia luar dan memahaminya secara benar sehingga sanggup menyesuaikan diri secara tepat dengan realitas di kelilingnya.
Di samping pengoplosan berita, wartawan juga sering melakukan perkosaan kedua (the second rape) terhadap korban perkosaan dalam pemberitaannya. Sebuah kode etik bagi wartawan Indonesia meski sudah usang namun selalu relevan adalah tidak menyiarkan informasi bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan kesuliaan.
Dalam penyajian berita seperti ini kita sering temukan wartawan melakukan ulasan yang mendalam tentang identitas korban secara lengkap, seolah-olah perlindungan terhadap korban tidak ada lagi. “Bunga siswi SMP A diperkosa oknum pejabat.” Pers bahkan seperti belum mencapai orgasme atas kasus perkosaan itu dan berlomba melengkapinya dengan foto korban dibumbui latar belakang kehidupan pribadinya sampai detail keluarga korban sebagai fakta otentik.
Inilah yang disebut the second rape atau perkosaan kedua yang dilakukan wartawan melalui beritanya. Dengan memuat identitas korban disertai foto dan latar belakang kehidupan pribadi korban, sebenarnya media sedang melanjutkan pemerkosaan terhadap korban. Pers seperti tidak pernah mempertimbangkan dampak pemberitaan yang ditimbulkan bagi korban dan keluarganya. Pertanyaan sederhana kenapa pelaku selalu disebut sebagai oknum atau dengan inisial sementara korban tidak? Jika pelaku dikenakan pasal praduga tak bersalah, apakah korban adalah orang bersalah yang harus ditelanjangi? Ataukah ini justeru kinerja jurnalistik yang salah memaknai nilai berita dalam konteks makna kontroversial?
Memang otentitas fakta dan etika jurnalis adalah dua hal yang berbeda. Tetapi kebebasan pers bukanlah kebebasan tanpa batas. Ia mensyaratkan ketaatan terhadap kode etik jurnalistik. Benar bahwa antara kedua ranah ini sarat dengan berbagai situasi dan kondisi dengan aneka pilihan yang membuat insan pers musti bernegosiasi. Tetapi di sini, tetap dibutuhkan empati jurnalis dalam menulis fakta. Pemberitaan yang menonjolkan sensasionalitas, kontroversi dan dramatisasi fakta akan membuat korban lebih menderita. Loyalitas pers adalah kepada kaum yang tertindas, namun kenyataan banyak media yang menghamba kepada kepentingan dan melakukan pembumkaman kebenaran.
***
PENGOPLOSAN fakta oleh wartawan dan pemerkosaan kedua dalam pemberitaan sering dilakukan berhubungan erat dengan keberpihakan yang gamang. Pers wajib berpihak, seperti kebenaran juga memihak. Namun menjadi soal ketika keberpihakan pers itu menegasikan ruang privat pihak lain. Lebih celaka jika pilihan itu dibuat untuk apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai the hyper-reality of media, menyembunyikan kebenaran atas fakta dan menggiring pembaca mempercayai sebuah citra yang dibangunnya sebagai kebenaran, meski penyataannya hanyalah dramatisasi realitas dan pemalsuan kebenaran yang melampaui realitas.
Jika trend tersebut tidak menjadi komitmen pers untuk membendungnya, maka yang terjadi tidak hanya simtomatik, tetapi devaluasi atau krisis makna. Berita adalah informasi yang sudah diselidiki kebenarannya dan diuji kelayakannya, sehingga layak dan relevan untuk dipublikasikan. Tugas penting pers dalam memelopori pekabaran, jembatan informasi, menjaga optimisme dan menumbuhkan harapan, hanya akan berhasil jika dan hanya jika wartawan melakukan filter bukan pengoplosan. Penyulingan memisahkan ethanol agar diperoleh alkohol yang murni, pengoplosan menambahkan spiritus agar alkohol bakar menyala, tapi membunuh. Dengan pengetahuannya wartawan ditunutu melakukan pembersihan agar diperoleh berita yang berkualitas.
Secara umum kita tahu wartawan berurusan dengan fakta. Pemberitaan tentang 8 Destinasi NTT masuk nominasi API 2020 misalnya, menunjukkan apa yang dianggap fakta oleh wartawan. Dari fakta ini wartawan memilih angel pemberitaan, ada yang menyoroti dampak lingkungan, ada yang keuntungan ekonomis. Semua itu sampai kepada pembaca sebagai berita, tetapi secara tajam apa yang dinamakan berita tidak lain apa yang dianggap fakta oleh wartawan. Berita adalah juga social construction of reality.
Berita adalah kisah, informasi adalah narasi dan fakta adalah makna. Jangan mengoplos fakta dengan opini untuk melahirkan gosip yang berkisah. Maka sesungguhnya jantung jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Wartawan yang berhasil selalu melakukan dua hal ini sekaligus: Mencatat dengan teliti fakta in actu di TKP dan memberikan suatu kerangka makna yang kemudian dideskripsikan sebagai berita. Dengan demikian pembaca menemukan berita yang bermakna.
Pengoplosan fakta sering terjadi dalam berita Pilkada atau Pilpres. Berita seputar kewarganegaan bupati terpilih Saburaijua misalnya penuh dengan pengoplosan. Sebagian media seperti lupa daratan dan ikut menghakimi dengan menjadikan dirinya sebagai sumber terpercaya. Yang disajikan bukan lagi fakat tapi sebuah solilokoi untuk menggiring pembaca ke dalam bingkai pemikiran tertentu untuk diterima sebagai kebenaran. Antonio Gramsci, menyebut pengoplosan fakta oleh wartawan merupakan upaya hegemoni, yakni penaklukan pikiran khalayak secara sukarela.
Masyarakat juga perlu mengembangkan kesaradan kritis dalam membaca fakta media agar terhindar dari penundukkan yang hegemonik oleh pers. Realitas media tak sepenuhnya paralel dengan realitas sosial. Maka pembaca juga perlu mengembangkan ketrampilan verifikasi dengan melakukan semacam diet informasi menggunakan skeptical knowing (pola pikir skeptis). Pembaca perlu mengenali jenis konten yang dihadapi, memeriksa laporan, menilai otoritas dan kualifikasi sumber, dan menilai berita dengan membedakannya antara fakta dan opini wartawan.
***
KEHILANGAN demokrasi jauh lebih buruk daripada kehilangan pers. Kita akan tetap bisa membanggakan pers sebagai pilar keempat demokrasi jika wartawan membuat berita sebagai dedikasi untuk kebenaran dan pembaikan kehidupan bersama.
Dan kita pun harus menyudahi cara pandangan lama bahwa melalui berita, pers menyatakan “percayalah kepada saya (pers)” dan menggantikannya dengan cara pandang baru di mana khalayak menyatakan kepada pers “tunjukkanlah kepada saya atau buktikanlah kepada saya. ” The most important thing that a press can do to this country is through the eyes of people. Berita yang baik, menyiapkan suasana, menciptakan peluang, memberi sentuhan dan menawarkan perspektif sehingga pembaca sendirilah yang menemukan jalan dan mendapatkan maknanya sendiri. Berikan pembaca cukup informasi untuk menilai sumber-sumber itu sendiri. Inilah yang disebut Jokowi, Pers menumbuhkan optimisme dan menghidupkan harapan. Selamat Hari Pers Nasional rekan-rekan media. (*)
Add : HPN (Hari Pers Nasional) 2021
Oleh : JB. Kleden, MM (Kakankemenag Kota Kupang)
Editor : Aida Ceha (Humas Kanwil Kemenag NTT)