MERDEKA BELAJAR Jilid V, Guru Penggerak Belajar Virtual di Tengah Pandemi COVID-19.

Penyusun:
Djuniaty Petronela Mantolas, .S.Th.
( Guru SMP Negeri 1 Kefamenanu )
Praktik Virtual Learning Environment yang digagas dalam Program Merdeka Belajar (MB) Episode V, Guru Penggerak Secara Virtual di Indonesia merupkan visi politik yang diusung dalam Kabinet Kerja Jokowi-Ma’ruff. MENDIKBUD sebagai mandataris tugas Presiden memiliki fungsi untuk melaksanakan Wacana Politik tersebut, sebelum berbicara lebih jauh, kita perlu untuk memahami beberapa keywords berikut.
Mengenal Merdeka Belajar
Ide “merdeka belajar” merupakan program inisiatif yang digaungkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Markarim.[1]Program merdeka belajar bertujuan untuk memberikan ruang kreatifitas bagi Peserta Didik, Guru dan Orang Tua dan mengurangi tekanan dalam proses pembelajaran.[2] Program ini diselenggarakan dalam IV Episode yang diantaranya mencakup i. USBN diganti Ujian (Asesmen), ii. 2021 UN Diganti menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, iii. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) disingkat, iv. Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) lebih fleksibel.[3] Pada Juli 2020, MENDIKBUD kembali merilis Episode v (lima) Merdeka Belajar melalui Guru sebagai Penggerak Secara Virtual.[4] Dalam paparannya, arah program Guru penggerak virtual berfokus pada pedagogi, berpusat pada murid dan pengembangan holistik, pelatihan yang menekan pada keterampilan instruksional melalui on-the-job coaching, pendekatan formatif dan berbasis pengembangan, kolaboratif dan pendekatan sekolah menyeluruh.[5] Hal ini di dukung oleh 3 (tiga) modul Guru Penggerak diantaranya 1. Paradigma dan Visi Guru Penggerak dalam materi refleksi filosofi pendidikan di Indonesia-Ki Hajar Dewantara, Nilai-nilai dan visi Guru Penggerak, dan membangun budaya positif di Sekolah; 2. Praktik Pembelajaran yang Berpihak Pada Murid dengan materi pembelajaran berdiferensiasi, pembelajaran sosial dan emosional, dan pelatihan (coaching); 3. Kepemimpinan dalam Pembelajaran Dalam Pengembangan Sekolah berisikan materi pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran, Pemimpin dalam pengelolaan Sumber Daya, dan pengelolaan program sekolah yang berdampak pada murid.
Akan tetapi, merdeka belajar ternyata telah terdaftar sebagai merek dagang sejak tanggal 22 Mei 2020, dengan nomor pendaftaran IDM000760133 oleh PT. Sekolah Cikal.[6] Ini berarti bahwa Program yang digaungkan tersebut bukan capaian orisinil dari MENDIKBUD, melainkan hanya sebuah wacana swasta yang dinasionalisasi. Tidak lepas dari bahasan tersebut, suksesi merdeka belajar di Indonesia diharapkan dapat mencapai optimalitas pembelajaran terutama di tengah pandemi COVID-19.
Mengiring Merdeka Belajar dalam SISDIKNAS
Sistem Pendidikan Nasional (umumnya disebut SISDIKNAS) merupakan sebuah akronim yang tidak dapat diluputkan dalam pengembangan dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan kepentingan pembelajaran pada jenjang pendidikan Dasar, Menengah Dan Atas-Kejuruan diakomodir oleh keberlakuan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penggunaan frasa sistem mengandung makna bahwa jalannya pendidikan nasional di Indonesia terjalin dalam sebuah mekanisme kerja yang baku, terukur dan stabil.[7]
Lebih lanjut, dinamisnya kebijakan pembelajaran di Indonesia telah diakomodir dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 bahwa “Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala”.[8] Prinsip yang sama turut dilaksanakan oleh beberapa negara maju di dunia diantaranya Finlandia melalui Journal of Teacher Education for Sustainability, Jyrki Reunamo dan Liisa Suomela mengungkapkan bahwa landasan fundamental pelaksanaan pembangunan pendidikan dari masa ke masa telah sesuai dengan visi United Nations World Commission on Environment and Development has formulated the concept of sustainable development1992 (Komisi Lingkungan dan Pembanguan PBB telah memformulasikan konsep pembangunan berkelanjutan 1992) di Rio De Janeiro.[9] Sementara itu, Pertemuan di Johannesburg tahun 2002 menyimpulkan bahwa kesepakatan di Rio tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan “Ten years after Rio, the UN meeting in Johannesburg (UN, 2002) had to admit that the aims of Rio had not been successful” sehingga mendorong UN untuk mendeklarasikan decade on Education for Sustainable Development from 2004 to 2015. Berdasarkan deklarasi tersebut,maka “every nation should set out the principles of sustainable development in all national curriculums (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation [UNESCO], 2005)” yang berarti bahwa setiap negara harus menentukan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam semua kurikulum nasional terkhususnya pada sektor pendidikan.[10]
Disamping itu, Singapura melalui Hairon Salleh, et.al mengungkapkan bahwa “Singapore makes for an interesting case as education policymakers encourage schools to innovate their curriculum yet maintaining a steep culture of academic achievement and control over standards across schools” yang mengandung makna bahwa dorongan untuk membuat pendidikan menjadi menarik dilakukan oleh Singapura untuk memacu inovasi pada kurikulum dan mempertahankan langkah capaian penghargaan pendidikan”.[11]Loiusa Thomas et.al juga turut mengemukakan terkait dinamika silabus pendidikan di Queensland, Australia yang berbasis pada Education for Sustainable Devlopment (ESD) pasca persetujuannya pada tahun 2019.[12] Penelitian tersebut menunjukan bahwa pelaksanaan pembelajaran di lingkungan pendidikan dituntut untuk memenuhi prinsip ESD yang meliputi Learning content; Pedagogy and learning environments; Social transformation; and Learning outcomes.[13]Berpacu dalam kesuksesan pembelajaran di Finlandia yang menerapkan beberapa model pembelajaran diantaranya i. Finnish classrooms are typically described as learner-centred - As the emphasis on student self-assessmen; ii. Students are expected to take an active role in designing their own learning activities; iii. Students are expected to work collaboratively in teams on projects, and there is a substantial focus on projects that cut across the traditional subject or disciplinary lines,[14]Pemerintah Indonesia juga hendak melaksanakan inovasi baru dalam pembangunan sektor edukasi melalui Merdeka Belajar sebagaimana yang dijelaskan dalam narasi sebelumnya.
Program Merdeka Belajar Episode V. Guru Penggerak Belajar Virtual di Indonesia dipandang sebagai solusi klinis atas persoalan pembelajaran di lingkungan sekolah. Meskipun merupakan sebuah bentuk inovasi mengusung kreatifitas, independen, keseimbangan antara belajar dan mengajar maupun sarana untuk mengurangi tekanan dalam bersekolah. Di sisi lain, kebijakan ini nyatanya masih memiliki kelemahan praktis jika meninjau dari lingkup ketersediaan sarana dan prasarana. Moonen et.al dalam Impact of the Internet on Higher Education in Finland menjelaskan bahwa suksesnya pembelajaran virtual di Finland ditenggarai oleh alasan bahwa Finland merupakan negara kedua dengan penggunaan internet terbanyak di dunia. Dalam kutipan aslinya, Moonen et.al menjelaskan bahwa “In 2000, Finland showed the second-highest Internet use of any country in the world. Internet penetration was estimated at 59.3% of the population. The only country to exceed this was Iceland, with 60%. The UK was 9th with 33.2% and the Netherlands 10th, with 23.9%. As of July 2001, Finland was reported by the United Nations as the best country in the world for technology, followed by the USA, Sweden, Japan and South Korea”.[15]Moonen et.al juga menjelaskan bahwa metode belajar virtual sendiri merupakan sebuah praktik pengembangan dari metode pembelajaran sebelumnya seperti halnya physical learning environments (1200s) to telematic learning and training, from network-based learning (1990s) to e-learning (2000s).[16]
Korea Selatan merupakan sebuah negara yang turut mengimplementasikan belajar virtual dalam label smart learning untuk mencapai an intelligent, customized learning system for fostering 21st century skills. Hadirnya smart learning di dorong oleh perkembangan beberapa faktor diantaranya i. the fast proliferation of smart devices, ii. smart systems and smart technologies, iii. learning technologies, iv. learning processes and learning strategies.[17] Korea Selatan sendiri berperan sebagai negara yang memimpin Information and Communications Technology (ICT), mobile devices, Internet connection speed, and infrastructuresehingga menjadi wajar jika kebijakan belajar virtual dilaksanakan di negara tersebut. Perlu untuk dipahami bahwa Korea Selatan juga merupakan negara dengan kecepatan internet tertinggi di dunia juga masih memiliki persoalan dalam penerapan e-Learning sebagaimana diungkapkan oleh Lee et.al bahwa kecenderungan untuk menerapkan traditional learning di Korea oleh karena keuntungan yang diberikan menjadi polemik dengan adanya era e-Learning. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa “because of the time and space barriers, learners in the traditional offline education are required to receive education at a certain time and location. .... the Internet-based e-learning is less restricted in terms of time and space. ...e-learning success factors need to be evaluated and taken into consideration in the development of the e- learning systems to deliver the most effective services.[18]
Narasi tersebut setidaknya menunjukan bahwa meskipun notabenenya sebuah negara diposisikan sebagai Developed Country, kebijakan virtual learning environment dalam platform e-learning, meskipun pada faktanya telah terdapat fasilitas dan sarana prasarana pelaksanaan kebijakan, akan tetapi pada segi pelaksanaannya juga masih menemui kendala. Hal yang dipertanyakan ialah nasib pendidikan di Indonesia yang masih memiliki keterbatasan sarana dan prasarana dipaksakan untuk mengikuti kebijakan berbasis strategi politik. Pembahasan tersebut kemudian merujuk pada beberapa solusi diantaranya ialah diperlukan kajian lebih lanjut terkait penerapan kebijakan belajar virtual di Indonesia yang merujuk pada ketersediaan insfrastuktur hingga sarana dan prasarana kebijakan, iklim pendidikan dengan diterapkannya kebijakan tersebut hingga kembali memperhatikan status kebijakan belajar virtual dalam aspek aksiologi-nya.
Semoga artikel ini dapat memberikan sebuah sudut pandang baru terkait dengan penerapan kebijakan belajar virtual di Indonesia melalui pengalaman internasional sebagai wadah untuk bercermin. Disamping, besar harapan dengan penerapan kebijakan ini tidak memberikan beban tambahan terhadap Pendidik, Peserta Didik dan para Orang Tua di Indonesia.
“ Merdeka..........Merdeka.................Merdeka
Daftar Pustaka
Budhrani, Kiran, Yaeeun Ji, and Jae Hoon Lim, ‘Unpacking Conceptual Elements of Smart Learning in the Korean Scholarly Discourse’, Smart Learning Environments, 5.1 (2018)
DPR-RI, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Acta Pædiatrica (Indonesia: www.jdih.com, 1982), lxxi, 6–6
‘FINLAND EDUCATION MODEL’, CCE Finland
Huisman, Jeroen, Jef Moonen, Betty Collis, Eric Beerkens, and Petra Boezerooy, Impact of the Internet on Higher Education in Finland, The E-University Compendium (Finlandia, 2001)
Lee, Byoung Chan, Jeong Ok Yoon, and In Lee, ‘Learners’ Acceptance of e-Learning in South Korea: Theories and Results’, Computers and Education, 53.4 (2009), 1320–29
Media, Kompas Cyber, ‘Gebrakan “Merdeka Belajar”, Berikut 4 Penjelasan Mendikbud Nadiem Halaman all’, KOMPAS.com
———, ‘Mendikbud Luncurkan Merdeka Belajar Episode 5 Tentang Guru Penggerak Halaman all’, KOMPAS.com
Nurkholis, ‘PENDIDIKAN DALAM UPAYA MEMAJUKAN TEKNOLOGI Oleh: Nurkholis Doktor Ilmu Pendidikan, Alumnus Universitas Negeri Jakarta Dosen Luar Biasa Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto’, Jurnal Kependidikan, 1.1 (2013), 24–44
‘Program Merdeka Belajar Nadiem Ternyata Merek Swasta, Negara Bayar Royalti?’, suara.com, 2020
Reunamo, Jyrki, and Liisa Suomela, ‘Education for Sustainable Development in Early Childhood Education in Finland’, Journal of Teacher Education for Sustainability, 15.2 (2013), 91–102
Salleh, Hairon, Catherine Siew Kheng Chua, and Wei Leng Neo, ‘School-Based Curriculum Development in Singapore: A Case Study of a Primary School’, 2018
Sukabumi, Mantra, ‘Mengenal Konsep Merdeka Belajar - Mantra Sukabumi’, 2020
Tomas, Louisa, Reece Mills, Donna Rigano, and Maryam Sandhu, ‘Education for Sustainable Development in the Senior Earth and Environmental Science Syllabus in Queensland, Australia’, Australian Journal of Environmental Education, 36.1 (2020), 44–62
[1]Mantra Sukabumi, ‘Mengenal Konsep Merdeka Belajar - Mantra Sukabumi’, 2020
[2]Ibid.
[3]Kompas Cyber Media, ‘Gebrakan “Merdeka Belajar”, Berikut 4 Penjelasan Mendikbud Nadiem Halaman all’, KOMPAS.com
[4]Kompas Cyber Media, ‘Mendikbud Luncurkan Merdeka Belajar Episode 5 Tentang Guru Penggerak Halaman all’, KOMPAS.com
[5]Ibid.
[6]‘Program Merdeka Belajar Nadiem Ternyata Merek Swasta, Negara Bayar Royalti?’, suara.com, 2020
[7]Nurkholis, ‘PENDIDIKAN DALAM UPAYA MEMAJUKAN TEKNOLOGI Oleh: Nurkholis Doktor Ilmu Pendidikan, Alumnus Universitas Negeri Jakarta Dosen Luar Biasa Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto’, Jurnal Kependidikan, 1.1 (2013), 24–44.
[8]DPR-RI, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Acta Pædiatrica (Indonesia: www.jdih.com, 1982), lxxi, 6–6
[9]Jyrki Reunamo and Liisa Suomela, ‘Education for Sustainable Development in Early Childhood Education in Finland’, Journal of Teacher Education for Sustainability, 15.2 (2013), 91–102
[10]Ibid.
[11]Hairon Salleh, Catherine Siew Kheng Chua, and Wei Leng Neo, ‘School-Based Curriculum Development in Singapore: A Case Study of a Primary School’, 2018
[12]Louisa Tomas and others, ‘Education for Sustainable Development in the Senior Earth and Environmental Science Syllabus in Queensland, Australia’, Australian Journal of Environmental Education, 36.1 (2020), 44–62
[13]Ibid.
[14]‘FINLAND EDUCATION MODEL’, CCE Finland
[15]Jeroen Huisman and others, Impact of the Internet on Higher Education in Finland, The E-University Compendium (Finlandia, 2001).
[16] Ibid, h. 13.
[17]Kiran Budhrani, Yaeeun Ji, and Jae Hoon Lim, ‘Unpacking Conceptual Elements of Smart Learning in the Korean Scholarly Discourse’, Smart Learning Environments, 5.1 (2018)
[18]Byoung Chan Lee, Jeong Ok Yoon, and In Lee, ‘Learners’ Acceptance of e-Learning in South Korea: Theories and Results’, Computers and Education, 53.4 (2009), 1320–29